Rabu, 26 November 2014

Hadits Menolak Perbuatan Bid'ah.




 Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas hafizhohuLLOOH:
Menolak kemungkaran dan bid'ah


Diriwayatkan dari Ummul Mu'minin, Ummu 'Abdillah, 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma, ia berkata, "Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam telah bersabda, 'Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam perkara ('ibadah) yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia ditolak."
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhori dan Imam Muslim)
Dalam hadits riwayat Imam Muslim: Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda, "Barangsiapa melakukan 'amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka ia ditolak."

Biografi perowi hadits

Beliau adalah Ummul Mu'minin, 'Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma, isteri Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam yang dinikahi di Makkah pada saat berusia enam tahun. Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam hidup bersamanya di Madinah ketika ia berusia sembilan tahun, yaitu pada tahun kedua Hijriyyah dan Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tidak menikah dengan gadis selainnya.

Dia adalah isteri yang paling dicintai di antara isteri-isteri Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam yang lainnya. Dia adalah wanita yang dibebaskan oleh ALLOH dari berita bohong yang menimpanya dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam. Dia banyak menghafal hadits, dan termasuk wanita yang paling pandai. Pada suatu hari Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengabarkan kepadanya, bahwa Malaikat Jibril 'alay-his salam menitipkan salam kepadanya.

Pada saat Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam meninggal dunia, ia berusia delapan belas tahun. Dikabarkan bahwa ia adalah wanita termulia dan akan menjadi isteri Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam di Surga. 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma wafat pada tahun 58 Hijriyyah dalam usia 67 tahun, dan dikuburkan di pemakaman Baqi'. (1)

Takhrijul hadits
1. Shohiih al-Bukhori, kitab ash-Shulhi, bab Idzas Tholahu 'ala Shulhi Jaurin, nomor 2550.
2. Shohiih Muslim, kitab al-Aqhdiyah, bab Naqdhil Ahkamil Bathilah wa Roddi Muhdatsatil Umur, nomor 1718 (17,18).
3. Sunan Abi Dawud, kitab as-Sunnah, bab Fi Luzumis Sunnah, nomor 4606.
4. Sunan Ibni Majah dalam al-Muqoddimah, nomor 14.
5. Musnad Imam Ahmad 6/73, 146, 180, 240, 256, 270.
6. Shohiih Ibni Hibban, nomor 26 dan 27.
Ahammiyatul hadits (Urgensi hadits)
Imam an-Nawawi (wafat tahun 676 H) rohimahuLLOOH berkata, "Hadits ini perlu dihafal dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemungkaran."

Imam Ibnu Daqiqil 'Id (wafat tahun 702 H) rohimahuLLOOH berkata, "Hadits ini adalah salah satu pedoman penting dalam agama Islam, yang merupakan jawami'ul kalim (kalimat yang pendek namun penuh arti) yang dikaruniakan kepada Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam. Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid'ah, dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah, bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak." (2)

Imam Ibnu Rojab al-Hanbali (wafat tahun 795 H) rohimahuLLOOH berkata, "Hadits ini adalah salah satu prinsip dasar yang agung dari prinsip-prinsip dasar Islam, dan menjadi barometer dari setiap 'amal perbuatan yang zhohir (terlihat). Sebagaimana hadits, 'innamal a'malu binniyat... (Sesungguhnya seluruh 'amal perbuatan tergantung dengan niatnya...)', merupakan barometer dari setiap perbuatan dari segi batin (niat)."

Sesungguhnya setiap 'amal perbuatan yang tidak ditujukan untuk mencari ridho ALLOH, maka 'amal tersebut tidak berpahala. Demikian pula halnya dengan segala 'amal perbuatan yang tidak atas dasar perintah ALLOH dan Rosul-NYA juga tertolak dari pelakunya. Siapa saja yang menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh ALLOH dan Rosul-NYA, maka bukanlah termasuk perkara agama sedikitpun. (3)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqolani rohimahuLLOOH berkata, "Hadits ini termasuk bagian dari prinsip-prinsip dasar Islam dan merupakan satu kaidah dari kaidah-kaidah Islam." (4)
Fiqhul hadits (Kandungan hadits)
1. Pelaksanaan syari'at Islam harus dilakukan dengan cara ittiba' (mengikuti), bukan ibtida' (mengada-ada).

Melalui hadits ini Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam menjaga kemurnian Islam dari tangan orang-orang yang melampaui batas. Hadits ini merupakan jawami'ul kalim (kalimat singkat namun penuh makna), yang mengacu pada berbagai nash al-Qur-an yang menyatakan, bahwa keselamatan seseorang hanya akan diraih dengan mengikuti petunjuk Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam, tanpa menambah ataupun mengurangi, sebagaimana disebutkan dalam firman ALLOH:
"Katakanlah (wahai Muhammad): 'Jika kalian semua mencintai ALLOH, maka ikutilah aku; tentu ALLOH akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, ALLOH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Qur-an Suroh Ali 'Imron (3): ayat 31)

Juga firman-NYA:
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhiroh termasuk orang-orang yang rugi.”
(Qur-an Suroh Ali ‘Imron (3): ayat 85)
Juga firman-NYA:
“Dan sesungguhnya ini adalah jalan-KU yang lurus, maka ikutilah, dan janganlah kalian mengikuti jala-jalan (yang sesat) karena dapat mencerai-beraikan kalian dari jalan-KU.”
(Qur-an Suroh al-An’am (6): ayat 153)

Imam Muslim rohimahuLLOOH meriwayatkan dalam kitab Shohiih-nya bahwa dalam khutbahnya, Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik ucapan adalah Kitabulloh (al-Quran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat, dan semua yang dibuat-buat adalah bid’ah, sedangkan semua bid’ah adalah sesat.”
Dalam riwayat Imam al-Baihaqi dan Imam an-Nasa-I rohimahumaLLOOH terdapat tambahan:
“Dan semua kesesatan masuk Neraka.”
2. berbagai perbuatan yang tertolak.

Hadits ini merupakan dasar yang jelas, bahwa semua perbuatan (‘ibadah) yang tidak didasari oleh perintah syari’at adalah tertolak. Hadits ini juga menunjukkan, bahwa semua perbuatan –baik yang berhubungan dengan perintah maupun larangan- terikat dengan hokum syari’at. Karenanya, sungguh sangat sesat perbuatan yang keluar dari ketentuan syari’at; seolah-olah perbuatanlah yang menghukumi syari’at, dan bukan syari’at yang menghukumi perbuatan. Oleh karena itu, setiap Muslim wajib menyatakan, ‘ibadah-‘ibadah yang ada di luar ketentuan syari’at adalah bathil dan tertolak.

Para ‘Ulama membagi perbuatan-perbuatan dalam ketentuan syari’at terbagi menjadi dua. Pertama, dalam masalah ‘ibadah. Kedua, dalam masalah mu’amalah.
Pertama, dalam masalah ‘ibadah.

Hukum asal ‘ibadah, pada asalnya adalah dilarang, kecuali yang dicontohkan oleh syari’at. Setiap orang yang mendekatkan diri kepada ALLOH Ta’ala dengan suatu ‘ibadah maka harus ada dalil shohih yang menunjukkan disyari’atkannya ‘ibadah tersebut. Jika ‘ibadah yang dilakukan seseorang keluar dari hukum syari’at, maka perbuatan tersebut tertolak. Ini masuk dalam firman ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala:

“Apakah mereka mempunyai sekutu selain ALLOH yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhoi) ALLOH?”
(Qur-an Suroh asy-Syuro (42): ayat 21)

Contohnya, mendekatkan diri kepada ALLOH dengan mendengar nyanyian, menari, melihat wanita, atau berbagai perbuatan lainnya yang tidak berdasar pada syari’at. Mereka inilah orang-orang yang dibutakan hatinya oleh ALLOH, sehingga tidak bias melihat kebenaran; bahkan kemudian selalu mengikuti langkah-langkah syaithon. Mereka mengklaim, bahwa mereka bisa mendekatkan diri kepada ALLOH melalui kesesatan yang mereka ada-adakan.

Mereka ini, tidak jauh berbeda dengan orang-orang Arob jahiliyah yang menciptakan satu bentuk ‘ibadah dan pendekatan diri kepada ALLOH, sedangkan ALLOH tidak menurunkan hujjah (‘ilmu) atasnya. ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan sholat mereka di sekitar Baitulloh itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan karena kekafiranmu itu.”
(Qur-an Suroh al-Anfal (8): ayat 35)

Terkadang suatu perbuatan disyari’atkan dalam suatu ‘ibadah, tetapi tidak menjadi ‘ibadah yang benar pada waktu dan tempat yang lain.

Sebagai contoh, berdiri dalam sholat adalah ‘amal (perbuatan) keta’atan yang disyari’atkan. Akan tetapi, sengaja berdiri di bawah sengatan terik matahari ketika melakukan puasa tidaklah disyari’atkan. Pernah, pada masa Nabi Muhammad shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam ada orang yang berpuasa sambil berdiri di bawah sengatan terik matahari. Ia tidak duduk dan tidak berteduh. Lalu Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam menyuruhnya untuk duduk dan berteduh sambil terus menyempurnakan puasanya. (5)
Para ‘Ulama telah sepakat, suatu ‘ibadah tidaklah sah, kecuali apabila terkumpul dua syarat. Yaitu ikhlash karena ALLOH dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam). Hendaknya diketahui, bahwasanya mutaba’ah (ittiba’) tidak ada terwujud, melainkan bila ‘amal itu sesuai dengan syari’at Islam dalam enam perkara: a) sebabnya, b) jenisnya, c) kadar (bilangan/ukuran)nya, d) kaifiyat (cara)nya, e) waktunya, dan f) tempatnya.

a) Sebabnya.
Jika seseorang melakukan suatu ‘ibadah kepada ALLOH dengan sebab yang tidak disyari’atkan maka ‘ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima. Misalnya, ada orang yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27 bulan Rojab, dengan dalih bahawa malam itu adalah malam mi’roj Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Sholat tahajjud adalah ‘ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut, maka ia menjadi bid’ah. Karena ‘ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini sangat penting, karena dengan demikian akan dapat diketahui beberapa macam ‘amal yang dianggap termasuk Sunnah, namun sebenarnya adalah bid’ah.

b) Jenisnya.
Maksudnya, ‘ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Misalnya, seorang yang menyembelih kuda untuk qurban. Maka penyembelihan ini tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan qurban yaitu unta, sapid an kambing.

c) Kadar (bilangan/ ukuran)nya.
Jika ada seseorang yang menambah bilangan roka’at sholat, yang menurutnya penambahan itu diperintahkan, maka sholat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan roka’atnya. Jadi apabila ada orang sholat zhuhur lima roka’at, umpamanya, maka sholatnya tidak sah.

d) Kaifiyat (cara)nya.
Seandainya ada orang yang sholat, dia sujud terlebih dahulu sebelum ruku’, maka sholatnya tidak sah dan tertolak, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari’at.

e) Waktunya.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang qurban atau hadyu pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka sembelihan (qurban)nya tidak sah, karena waktu pelaksanaannya di luar ketentuan ajaran Islam. Contoh lain, orang yang sholat sebelum masuk waktunya, maka sholatnya tidak diterima.

f) Tempatnya.
Andaikata ada orang yang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka I’tikafnya tidak sah. Sebab, tempat I’tikaf hanyalah di masjid. (6)
Kedua, dalam masalah mu’amalah.
Hukum asal dalam mu’amalah adalah dihalalkan, kecuali mu’amalah yang diada-adakan; yang memang ada keterangan dari syari’at yang menunjukkan diharomkannya mu’amalah tersebut.
Keterangannya sebagai berikut:
a. Berbagai akad yang dilakukan manusia yang dilakukan sebagai ganti dari akad syari’at yang sah.

Contohnya, kejadian pada masa Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam. Suatu saat ada orang yang bertanya kepada Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam dan menginginkan agar hukuman zina diubah dengan denda, maka Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam menolaknya. Lebih lengkapnya, kejadian tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori dan Imam Muslim dalam sebuah hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam didatangi seseorang. Orang itu berkata, “Anakku bekerja pada si Fulan, lalu ia berzina dengan isterinya. Aku telah membayar denda sebanyak seratus kambing dan seorang pembantu.” Mendengar penuturannya, maka Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda, “Seratus kambing dan pembantu dikembalikan kepadamu, dan hukuman bagi anakmu seratus kali cambukan dan diasingkan selama satu tahun.”

b. Akad yang dilarang menurut syari’at, seperti:
• Pernikahan yang diharomkan oleh ALLOH dengan sebab kerabat, atau nasab, atau menggabungkan dua saudara. Maka akadnya adalah bathil (tidak sah).
• Hilangnya salah satu syari’at dalam akad, seperti nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda, maka akad nikahnya tidak sah.
• Akad yang diharomkan oleh ALLOH Ta’ala, seperti jual beli khomr (minuman keras), bangkai, babi, patung, anjing, riba, dan semua jual beli yang dilarang menurut syari’at, maka akadnya bathil dan tertolak.
• Akad yang di dalamnya ada kezholiman atau penipuan, maka dikembalikan kepada yang dizholimi, dan lainnya.
Demikian juga semua akad (transaksi) yang dilarang oleh syaro’, atau dua orang yang melakukan akad mengabaikan salah satu rukun atau syarat akad, maka akad tersebut bias batal dan tertolak. Permasalahan ini, tentang sah dan tidaknya serta tertolak dan tidaknya, secara lebih rinci bias dibaca di kitab-kitab fiqih.

3. Perbuatan yang diterima.
Dalam kehidupan, ada perkara-perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syari’at, bahkan sesuai atau cenderung didukung dasar-dasar syari’at. Hal inilah yang disebut dengan maslahat mursalah. Para Shohabat ro-dhiyaLLOOHU 'anhum banyak mencontohkan hal ini. Seperti menghimpun al-Qur-an pada masa Abu Bakar ro-dhiyaLLOOHU 'anhu, penyeragaman (bacaan) al-Qur-an pada masa ‘Utsman bin Affan ro-dhiyaLLOOHU 'anhu dengan mengirimkan salinan-salinan mushof ke berbagai penjuru diserta para qori’.

Contoh lainnya, penulisan ‘ilmu nahwu, tafsir, sanad hadits dan berbagai ‘ilmu lainnya, baik teori maupun yang bersifat empiris yang sangat bermanfaat bagi manusia, dan dapat mendorong terwujudnya pelaksanaan hukum ALLOH di muka bumi ini.

Dari uraian di atas bias disimpulkan, bahwa perkara-perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syari’at, maak perkara tersebut tergolong bid’ah yang tercela dan sesat. Namun perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syari’at, tetapi bahkan sesuai dan didukung syari’at, maka perkara tersebut baik dan diterima.

Dari perkara-perkara itu ada yang Sunnah, ada juga yang sifatnya fardhu kifayah.
Dosa bid’ah yang sesat pun bervariasi, tergantung bahaya yang ditimbulkan dan ketidaksesuaiannya dengan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam melakukan perbuatan bid’ah tersebut, seseorang bias terjerumus pada kekufuran dan kesesatan. Misalnya, orang yang bergabung dengan aliran sesat, yang mengingkari wahyu dan syari’at ALLOH, mengajak untuk menerapkan hukum buatan manusia, menuduh penerapan hukum ALLOH merupakan keterbelakangan. Atau orang yang bergabung dengan jama’ah sufi yang meremehkan berbagai kewajiban, atau mempunyai paham wihdatul wujud ataupun hulul (manunggaling kawulo gusti) dan berbagai perilaku sesat lainnya, maka perbuatan ini jelas-jelas kufur, dan dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, tentunya setelah terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang yang membuat dia keluar dari Islam.

Yang juga termasuk bid’ah sayyi’ah atau sesat, yaitu pengagungan terhadap suatu benda dan minta keberkahan kepda benda tersebut dengan keyakinan, bahwa benda yang ia agungkan bias member manfaat (atau hanya sebagai perantara, Red.). misalnya mengagungkan pohon, batu atau lainnya. Pernah suatu saat para Shohabat ro-dhiyaLLOOHU 'anhum lewat di samping pohon bidara yang diagung-agungkan orang-orang musyrik.

Diriwayatkan dari Abu Waqid al-Laitsi ro-dhiyaLLOOHU 'anhu, ia berkata, “Kami keluar bersama Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam ke Hunain, dan kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Ketika itu orang-orang musyrik memiliki sebatang pohon bidara yang disebut dzatu anwath. Mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu. Kami pun berkata, ‘Ya Rosululloh, buatkanlah kami dzatu anwath sebagaimana mereka (orang-orang musyrik) mempunyai dzatu anwath.’ Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda,

‘Sub-haanaLLOOH, hal ini seperti perkataan kaum Nabi Musa 'alay-his salaam (bani Isroil kepada Musa), ‘Buatkanlah untuk kami sesembahan, sebagaimana mereka memiliki sesembahan (Qur-an Suroh al-A’rof (7): ayat 138).’ Demi ROBB yang diriku berada di tangan-NYA, kamu benar-benar mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu!’.”
(Hadits Riwayat Imam at-Tirmidzi nomor 2181, beliau rohimahuLLOOH berkata, “Hadits ini hasan shohih.”)
Dala hal ini mereka tidak kafir, karena mereka baru masuk Islam. Dan perkataan tersebut, mereka ucapkan karena ketidaktahuan.

Hadits kedua, “Barangsiapa melakukan ‘amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka ia (‘amalan tersebut0 ditolak”, karena sebagian ahli bid’ah membantah hadits pertama, “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam perkara (‘ibadah) yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia ditolak.” Mereka berargumen, kami tidak pernah menciptakan hal baru. Apa yang kami lakukan, telah kami dapatkan dari orang-orang sebelum kami. Maka dengan penyebutan hadits kedua ini, argumentasi mereka tidak bernilai.

1. Dari hadits di atas bias kita pahami, barangsiapa yang mereka-reka satu ‘amalan, maka dosanya, ia sendiri yang menanggung dan ‘amalan tersebut tertolak.
2. Setiap orang yang mengadakan sesuatu yang baru dalam ‘ibadah, seperti do’a dan dzikir tertentu yang tidak ada Sunnahnya dari Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam, maka ia telah berdosa dari empat segi.
a. Meninggalkan do’a dan dzikir yang disyari’atkan.
b. Menambah-nambah syari’at Islam.
c. Mensunnahkan sesuatu yang tidak disyari’atkan.
d. Mengelabui orang awam, yang menurut mereka, bahwa hal itu boleh dikerjakan.

Kesimpulan
Wajib atas setiap penuntut ‘ilmu untuk berhati-hati, dan tidak terburu-buru dalam menghukumi suatu ‘amal ditolak (tidak diterima) berdalil dengan hadits ini. Wajib atasnya untuk melihat dan mencari pendapat ‘Ulama tentang hukum dalam suatu masalah. Dia harus memahami kaidah dan prinsip yang dipakai oleh para ‘Ulama dalam menentukan suatu ‘amal diterima atau ditolak. WALLOOHU a’lam.

Fawaidul hadits (Manfaat hadits)
1. Hadits ini sebagai barometer (timbangan) ‘amal yang zhohir.
2. Perbuatan bid’ah adalah diharomkan dalam agama.
3. ‘Amal perbuatan yang dibangun di atas bid’ah, maka ia tertolak.
4. Bahwasanya larangan terhadap sesuatu, cenderung karena adanya dampak kerusakan sesuatu tersebut.
5. Semua perbuatan yang diada-adakan dalam Islam yang tidak ada tuntunan dari syari’at, maka perbuatan itu tertolak, meskipun dilakukan dengan niat yang baik.
6. ‘Amal sholih yang dilakukan tidak mengikuti ketentuan syari’at, seperti enam perkara di atas (yaitu sebab, jenis, kadar, kaifiyat, waktu, dan tempat), maka ‘amalannya bathil dan tidak sah.
7. Bahwasanya agama Islam adalah agama yang sempurna, dan tidak ada kekurangan padanya.
8. Kewajiban ummat Islam adalah ikhlash dalam ber’ibadah kepada ALLOH dan ittiba’ kepada Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam.
9. Syarat diterimanya ‘amal adalah ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam).

Maroji’
1. Syaroh al-Arba’in li Ibni Daqiqil ‘Id, cetakan tahun 1427 H, Dar Ibni Hazm.
2. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, tahqiq Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan Ibrohim Baajis.
3. Al-Wafi fi Syarhil Arba’in an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthofa al-Bugho dan Muhyiddin Mostu, cetakan VIII, tahun 1413 H, Maktabah Dar at-Turots.
4. Qowa-id wa Fawa-id minal Arba’in an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthon, cetakan I, tahun 1408 H, Dar 'alay-his salaam-Salafiyyah.
5. Syaroh al-Arba’in, karya Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, cetakan III, tahun 1425 H, Dar Tsuroyya lin Nasyr.
6. Fat-hul Qowiyyil Matin fi Syarh al-Arba’in wa Tatimmatul Khomsin, karya Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr, cetakan I, tahun 1424 H, Dar Ibni ‘Affan.
7. Tash-hihud Du’a, karya Syaikh Bakr Abu Zaid.
===

(1) Lihat biografi lengkap beliau dalam kitab Thobaqot Ibnu Sa'ad juz 6, nomor 4120, dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqolani, kitab al-Ishobah fi Tamyizish Shohabah 4/359-360, nomor 704.
(2) Kitab Syaroh Arba'in li Ibni Daqiqil 'Id, cetakan Dar Ibn Hazm, 1427 H, halaman 43.
(3) Kitab Jami'ul 'Ulum wal Hikam 1/176, tahqiq Syaikh Syu'aib al-Arnauth dan Ibrohim Bajis.
(4) Kitab Fat-hul Baari 5/302-303.
(5) Hadits Riwayat Imam al-Bukhori, Imam Abu Dawud, dan Imam ath-Thohawi dalam kitab Musykilul Atsar. Lihat kitab al-Wafii fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyyah, halaman 31-32, dan kitab Qowa-id wa Fawa-id, halaman 76.
(6) Lihat kitab al-Ibda’ fi Kamalisy Syaro’ wa Khothoril Ibtida’, halaman 20-23, dan Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin rohimahuLLOOH, kitab Syaroh Arba’in, halaman 114-118.

===
Sumber:
Majalah as-Sunnah, Upaya menghidupkan Sunnah, Edisi 01/ Tahun XI/ 1428 H/ 2007 M.
===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar