Selasa, 25 November 2014

Mengapa Bid'ah Harus di Jelaskan.?





Mengapa Bid'ah Harus Di Jelaskan.?


Sering terjadi diskusi atau debat tentang penting dan tidaknya atau bahkan tentang boleh dan tidaknya seorang da’i menjelaskan masalah bid’ah, baik itu dimajlis majlis ‘ilmu, ataupun ditempat lainnya. Dan tentu saja, debat tentang bid'ah ini selalu terjadi diantara "dua pihak", yakni para pendukung sunnah melawan pendukung bid’ah yang merupakan para simpatisan atau para da’i yang gandrung dengan bid’ah-bid’ah yang digemari oleh kebanyakan manusia, dan mereka tidak ingin ditinggalkan pengikutnya.

Seakan-akan sudah menjadi kaidah yang disepakati diantara mereka (walaupun tidak diucapkan) bahwasanya pembahasan masalah-masalah bid’ah bagi mereka akan membuat manusia lari dan menjauh dari mereka, bahkan dianggap memecah belah persatuan ummat islam, maka demi terlaksananya dakwah dan tujuan mereka, dianggaplah tidak perlunya bahkan tidak bolehnya hal-hal tersebut diangkat dihadapan manusia.

Satu contoh jawaban yang sering mereka lontarkan ketika ditanya semisal :

“Apakah melafadzkan niat itu bid’ah atau sunnah ??”

Hampir bisa dipastikan mereka akan menjawab :

“Tidak perlu sibuk dengan hal itu, semua benar, semua baik, yang salah adalah yang tidak sholat !!”

Jawaban seperti ini adalah jurus penyelamat bagi mereka supaya tidak di tinggalkan oleh pengikutnya, dan ternyata jawaban seperti ini sangatlah ampuh sehingga orang yang mendengarnya akan mengatakan padanya ini adalah seorang ustadz/kyai yang tidak kolot, sesuai dengan keadaan, sesuai keinginan ummat, ia menyatukan dan tidak memecah belah ummat, ia mampu memberi solusi tepat, dst..

Kenyataan seperti ini sangat disayangkan dan sangat bertolak belakang dengan prinsip agama Islam. Kenapa demikian ??? Beberapa point ini harus kita perhatikan :

Amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas setiap da’i, yaitu menerangkan hal-hal yang ma’ruf supaya bisa diamalkan oleh manusia, dan memberi peringatan hal-hal yang munkar (entah itu bid’ah, syirik, kurafat, maupun maksiat) supaya ditinggalkan dan dijauhi. Inilah hakekat da’wah yang sebenarnya, apabila seorang da’i tidak melarang atau memperingatkan manusia dari bahaya bid’ah, maka yang dilakukan hanya amar ma’ruf saja, sedangkan nahi mungkar ditinggalkan.

Tugas wajib bagi pembawa risalah adalah memberi peringatan kepada manusia dan menjelaskan semua bid’ah supaya dijauhi, oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

“Jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah (HR.Tirmidzi no.2676, Abu Dawud 4/200)

Oleh karena itu seorang yang mengetahui semua kebaikan tidak ada jaminan baginya selamat dari kesesatan apabila tidak mengetahui kesesatan itu, dengarlah sebuah sya’ir hikmah berikut ini :

“ Aku mengetahui kejelekan bukan untuk kejelekan akan tetapi untuk menjaga diri”

“Siapa yang tidak bisa membedakan suatu kebaikan dari kejelekan maka jatuh padanya”

Termasuk kewajiban mubaligh adalah menyampaikan amanat Allah ta’ala diantaranya memberi peringatan kepada manusia tentang bahaya bid’ah. Dan sebaliknya seorang da’i yang tidak memberi peringatan bahaya bid’ah adalah bukan mubaligh yang sebenarnya, sebagaimana Allah ta’ala berfirman :

“Wahai Rasul sampaikan apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan kamu tidak menyampaikan amanatnya” (QS. Al Maidah 67)

Barangsiapa menentang sunnah dan mengadakan suatu bid’ah maka dia akan binasa, sebagaimana sabda dan wasiat Nabi kita shalallahu ‘alaihi wassalam :

“Sungguh aku telah tinggalkan buat kalian berada diatas (kejelasan) yang putih, malam harinya sepeti siang, tidak ada orang yang menyimpang darinya kecuali dia pasti binasa, siapa saja yang hidup setelahku, pasti menjumpai perselisihan yang sanagt banyak, maka kalian harus mengambil apa yang kalian ketahui dari sunnahku dan sunnah para khalifah (setelahku) yang telah mendapatkan petunjuk, dan gigitlah (peganglah sunnah itu) erat erat dengan geraham kalian” (HR. Ibnu Majah no.43)

[Sebagian tulisan disari dari Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan Tahlilan dan Selamatan. Oleh Al Ustadz Abu Ibrahim Muhammad Ali bin A. Muntholib, penerbit Pustaka Al Ummat]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar