Diterjemahkan oleh Al-Akh Yhouga Ariesta M. dari Twitter Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid
(1). Merupakan tradisi yang tersebar di kalangan umat Islam yaitu perayaan Maulid Nabi setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Dan telah mutawatir di kalangan para ulama bahwasanya hal ini merupakan perbuatan yang mengada-ada dalam hal agama.
(2). Berkata Syaikh Tajuddin bin Ali Al Maliki, yang terkenal dengan nama Al Fakihani, “Aku tidak mengetahui satu pun dasar bagi perayaan Maulid di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, dan tidak dinukil riwayat bahwa seorang pun ulama pernah mengerjakannya”.
(3). Umar Radhiyallahu 'anhu memulai kalender Islam, dengan kesepakatan dari para shahabat lainnya yakni dengan momentum hijrah. Sebab hijrah merupakan simbol kemenangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas agama ini. Mengapa Umar Radhiyallahu 'anhu tidak memulainya dengan momentum lahir atau wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam? Lalu kemana hari Maulid dalam pandangan para shahabat?
(4). Dan aku pun tidak mendapati sampai detik ini, landasan yang kuat bagi perayaan Maulid Nabi, baik dari Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, Qiyas, bahkan kaum muslimin bersepakat bahwa perayaan ini tidak pernah ada dalam AL Qurun Al Mufadhalah (generasi utama umat, yaitu shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in) –Asy Syaukani-
(5). Yang pertama kali memulai tradisi ini ialah Dinasti Fathimiyyun di abad ke-4 Hijriah, dalam rangka merusak agama ini. Mereka mengadakan 6 Maulid : Maulid Nabi, Maulid ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husein, dan Khalifah Al Hadhir (yang berkuasa waktu itu).
(6). Tujuan mereka membuat 6 jenis Maulid ini ialah untuk menyibukkan orang-orang awam agar Madzhab Isma’ili Al Bathini dapat tersebar dengan bebas, beserta aqidah mereka yang sesat dan menjauhkan umat dari agama mereka.
(7). Mereka membuat perayaan Maulid dengan menghadirkan meja-meja dimana orang miskin makan dengan bebasnya. Ini merupakan cara yang keji dalam menyebarkan perayaan ini, hingga menarik hati orang-orang awam yang tidak memiliki perhatian dalam masalah agama.
(8). Maka ketika datang seorang yang mengingkari perayaan ini, mereka berkata, “Apa yang engkau ingkari? Memberi makan orang miskin, shadaqah, membaca Al Qur’an, memuji-muji Rasulullah, dan menampakkan kecintaan terhadap beliau?” Inilah cara licik orang-orang yang memerangi sunnah dalam melegalkan perbuatan mereka.
(9). Orang-orang yang menganalisis perayaan ini tidak mampu membantah dikarenakan siksaan dari rezim yang represif (kala itu). Maka lambat laun perayaan ini menjadi tradisi dan melekat di hati kaum muslimin.
(10). Kaum Ubaidiyyun (nisbat kepada Ubaid Al Qaddah Al Fathimi) adalah pelopor tersebarluasnya perayaan ini. Mereka pada mulanya gemar merayakan perayaan orang-orang Majusi dan Nasrani karena jauhnya mereka dari agama dan permusuhan mereka terhadapnya.
(11). Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Maulid merupakan wasilah (perantara) bagi sikap ghuluw (ekstrim dalam beragama) dan kesyirikan. Perantara bagi sikap ekstrim dalam mengagungkan Nabi dan orang-orang shalih, mereka mengagung-agungkan dengan pujian-pujian yang di dalamnya kadang terdapat kesyirikan kepada Allah, bahkan syirik akbar”.
(12). “Tidak pernah ada perayaan terhadap Nabi ‘alaihi shalatu wassalam, begitu pula dengan Khulafaur Rasyidin. Kaidah : Lau kaana khairan, lasabaquna ilaih, seandainya hal tersebut merupakan kebaikan tentu merekalah yang terdahulu melakukannya. Hal ini awalnya hanya dilakukan kaum Rafidhah, kemudian sebagian kaum Muslimin yang jahil terhadap agama mengikutinya”.
(13). “Hendaknya kita mengetahui bahwa kita adalah hamba Allah yang tunduk dengan perintah-Nya, syari’at-Nya, dan melaksanakan perintah dan syariat Allah tersebut. Bukan mengada-adakan suatu ibadah yang tidak diizinkan oleh Allah Ta’ala”.
(14). Maulid Nabi merupakan tradisi kaum Nashrani yang biasa merayakan Natal. Kaum muslimin menukil perayaan tersebut disebabkan lemahnya keteguhan mereka dalam memegang agama, dan tersebarnya tasyabbuh (sikap menyerupai) terhadap musuh-musuh Islam.
(15). Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Peringatan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang diada-adakan dalam ibadah, tidak ada dasarnya dari umat ini. Mengagungkan suatu waktu dan tempat tertentu, dan menjadikannya suatu tradisi merupakan suatu kebathilan”.
(16). Seandainya perayaan ini baik maka para salaf lebih berhak dari kita, karena mereka lebih besar kecintaan dan pengagungannya kepada Rasulullah daripada kita, dan paling besar semangatnya terhadap kebaikan.
(17). Syaikh Rasyid Ridha berkata, “Diantara perangai manusia ialah suka berlebih-lebihan dalam mengagungkan para penguasa, baik penguasa dalam perkara dunia maupun agama, disebabkan lemahnya mereka. Karena tidak ada masyaqqah (beban) dalam acara-acara tersebut, sehingga mereka menjadikannya sebagai pengganti kewajiban-kewajiban mereka”.
(18). Ibnul Hajj berkata, “Perhatikan orang-orang yang menyelisihi sunnah, betapa keji dan buruknya mereka dengan keharaman yang mereka perbuat. Karena ketika mereka melakukan penyimpangan dalam sunnah, dosanya tidak akan berhenti sampai disitu (akan terus mengalir selama dilakukan oleh generasi berikutnya).
(19). Bahkan kebathilan-kebathilan yang mereka pelopori akan terus bertambah. Maka orang yang paling bahagia ialah mereka yang kedua tangannya memegang teguh Al Qur’an dan As Sunnah dan berjalan diatasnya. Yaitu dengan mengikuti para salaf yang terdahulu.
(20). Karena merekalah yang paling berilmu akan sunnah daripada kita, paling tahu ucapannya dan paling paham kondisinya. Merekalah teladan kita dalam mengikuti kebaikan...
(21). Mengikuti salaf lebih wajib daripada menambah inisiatif yang tidak sesuai dengan sunnah. Karena merekalah manusia yang paling teguh dalam mengikuti sunnah, dan tidak ada satu riwayat pun bahwa mereka memiliki inisiatif perayaan Maulid.
(22). “Status seorang yang sibuk menghiasi masjid namun tidak shalat di dalamnya, atau seperti seorang yang shalat dengan sajadah yang bertabur hiasan, keduanya tidak disyariatkan, dapat menyibukkan seorang dari hal yang justru disyariatkan, dan akan merusak pelakunya.” (Ibnu Taimiyah, perkataan ini merupakan peringatan bagi seorang yang melakukan ritual yang tidak disyariatkan, seperti Maulid Nabi).
(23). “Malam Maulid Nabi tidaklah diketahui dalilnya secara qath’i, sehingga malam 12 Rabi’ul Awwal tidak ada dasarnya baik ditinjau dari ilmu sejarah maupun syari’ah, sehingga tergolong sebagai ibadah yang mengada-ada” (Ibnu Utsaimin)
(24). “Seandainya perayaan Maulid merupakan kesempurnaan dalam agama, pasti akan dilaksanakan sebelum wafatnya Rasul alaihissalam. Namun jika bukan bagian dari kesempurnaan agama, otomatis bukan bagian dari agama ini”. (Ibnu Utsaimin)
(25). “Seandainya itu (yaitu Maulid Nabi) baik, tentu Allah tidak akan mengharamkannya pada generasi salaf, termasuk di dalamnya Khulafaur Rasyidun dan para Imam dalam agama ini. Nyatanya hal tersebut Allah haramkan bagi mereka, dan justru dipelopori oleh kaum Syi’ah Rafidhah”. (Ibnu Utsaimin)
(26). “Adapun apa yang generasi salaf bersepakat meninggalkannya, maka tidak boleh mengerjakannya. Karena mereka meninggalkannya dengan berlandaskan ilmu yang mereka miliki, sehingga mereka tidak mengamalkannya”. (Ibnu Rajab Al Hambali)
(27). “Perayaan Maulid Nabi merupakan ibadah yang mengada-ada, karena di dalamnya terkandung puji-pujian yang bersifat ghuluw (berlebihan) atas Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan di dalamnya terkandung unsur tasyabbuh (meniru-niru) kaum Nasrani yang merayakan kelahiran Al Masih ‘alaihissalam”. (Syaikh Fauzan)
(28). “Kesempurnaan cinta dan pengagungan atas Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada dalam sikap mutaba’ah, mengikuti sunnah beliau, perintahnya, dan menjauhi larangannya, serta dengan menghidupkan sunnah-sunnahnya baik secara dhahir (amalan fisik) maupun bathin (amalan hati)” (Ibnu Humaid)
(29). “Rasul tidak menetapkan perayaan hari lahir beliau, begitu pula Khulafaur Rasyidin maupun para shahabat. Sementara Nabi hadir di tengah-tengah mereka dan seandainya perayaan itu disyariatkan, tentulah tidak tersembunyi bagi mereka” (Ibnu Jibrin)
(30). “Kalau dalam perayaan Maulid Nabi terdapat doa yang ditujukan kepada selain Allah (termasuk diantaranya berdoa memohon kepada Nabi), maka itu termasuk ke dalam bid’ah mukaffirah, yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Namun jika sekedar kumpul-kumpul untuk membaca Al Qur’an atau makan bersama-sama, maka tergolong bid’ah namun tidak mengeluarkan dari agama” (Ibnu Baz)
(31). Bolehkah memakan daging hewan yang disembelih khusus untuk perayaan Maulid Nabi? Jawab: Daging hewan yang disembelih dalam rangka Maulid Nabi atau dalam rangka cinta dan pengagungan atas Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam termasuk dalam penyembelihan yang ditujukan kepada selain Allah. Hukumnya syirik dan tidak boleh memakannya (Fatwa Lajnah)
(32). Sembelihan dalam rangka Maulid Nabi: Jika khusus disembelih dalam rangka Maulid, maka ini syirik akbar (haram memakannya). Namun jika menyembelih dengan niat untuk dimakan bersama-sama (tanpa dikhususkan untuk Nabi), maka sebaiknya tidak memakannya dan tidak menghadiri perayaan tersebut dalam rangka mengingkarinya. (Ibnu Baz).
(33). Pada hari Maulid Nabi kami makan-makan, membagikan makanan untuk tetangga, dan saling memberi ucapan selamat kepada tetangga dan karib kerabat. (Apakah hukumnya boleh?) Jawab: Menghidangkan makanan dan saling mengunjungi pada hari Maulid Nabi hukumnya bid’ah (Ibnu Baz)
(34). Apa hukumnya shalat di belakang imam yang merayakan Maulid Nabi? Jawab: Jika dia tidak melakukan atau mengucapkan sesuatu yang kufur dalam perayaan Maulid (seperti berdoa kepada Nabi), maka boleh shalat di belakangnya karena hal tersebut bid’ah yang tidak mengeluarkan dari Islam,
(35). Namun jika dia melakukan atau mengucapkan sesuatu yang kufur seperti berdoa kepada Rasul atau menyifati Nabi dengan sifat yang khusus bagi Allah, maka shalat di belakangnya tidak sah dan dia tidak boleh menjadi Imam. (Ibnu Utsaimin)
(36). Membeli jajanan yang dijual dalam perayaan Maulid termasuk dalam perbuatan tolong menolong dan mempromosikan perbuatan tersebut, bahkan telah termasuk dalam merayakan ‘Ied (dan hukum merayakan 'Ied adalah haram selain yang ditetapkan syari'at)
(37). “Permulaan turunnya wahyu di Gua Hira (yang juga merupakan momentum penting), tidak ada seorang shahabat pun yang mengerjakan ibadah khusus untuk memperingatinya” (Ibnul Qayyim, lantas mengapa Maulid Nabi dirayakan, sementara hari turunnya wahyu tidak?)
(38). “Barangsiapa yang mengkhususkan tempat dan waktu tertentu (pada hari Maulid) untuk ibadah, sejatinya mereka telah menyerupai Ahli Kitab yang menjadikan momentum tertentu dari fase kehidupan Al Masih sebagai ibadah, seperti halnya Natal” (Ibnul Qayyim)
(39). Diantara syubhat para pendukung Maulid : “Sesungguhnya bergembira atas kelahiran Nabi merupakan tuntutan dan perintah, berdasarkan firman Allah, ‘Katakanlah!, dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.’ (QS. Yunus : 58)”,
(40). Berkata Ibnu Abdil Hadi, “Tidak boleh membuat ta’wil yang mengada-ada baik dalam Al Qur’an maupun As Sunnah yang tidak ada contohnya pada masa salaf, karena hal itu sama saja menganggap mereka bodoh dan sesat terhadap kebenaran, dan menganggap generasi masa kinilah yang diberi hidayah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar